“Orang menamai makanan itu gado-gado. Dan aku sendiri menamainya makanan yang terenak di dunia ini. Mengingat nama itu tergeraklah dalam hatiku akan menamai tulisan campur aduk ini gado-gado pula.. menurut apa yang tertulis di sini, gado-gado ini adalah suatu campur-aduk dari pengalaman yang pahit-pahit dan sekali-sekali bukan suatu campur-aduk makanan yang lezat.”[1][1]
Gado-gado yang digambarkan oleh Pramoedya di atas dapat kita samakan dengan konsep multikulturalisme. Multikulturalisme adalah suatu campur-aduk dari pengalaman berbudaya yang tidak semuanya lezat dan indah. Akan ada saat yang pahit dimana terjadi konflik atau perpaduan rasa yang buruk dari suatu budaya, akan tetapi ada juga saat dimana timbul suatu kelezatan yang luar biasa dari kerjasama antar budaya. Semua pengalaman ini diolah dan berpadu hingga akhirnya menghasilkan rasa saling menghargai dan toleransi. Suatu pengertian bahwa yang berbeda itu tidak buruk atau berbahaya. Masa pengolahan ini mungkin sangat menyakitkan dan keras karena harus melewati 4 tahap menuju multikulturalisme, hambatan-hambatan yang ada dan cara mensosialisasikan konsep multikulturalisme. Namun setelah hidangan siap disajikan, terbentang di hadapan kita makanan khas Indonesia; gado-gado. Inilah inti dari multikulturalisme.
4 Tahap Menuju Multikulturalisme
Di bagian pendahuluan, terbersit sebuah pertanyaan “Apakah Indonesia sudah layak disebut sebagai negara ‘gado-gado’?. Untuk memiliki negara seperti ini Indonesia, menurut Danusiri, harus melewati beberapa tahapan, yaitu; pengertian, penerimaan, toleransi, dan tahap bekerja sama.[2][2] Tahap pertama, pengertian, sudah berhasil dilewati oleh bangsa ini. Sejak sekolah dasar kita telah diajarkan bahwa Indonesia terdiri dari beribu-ribu pulau dan mempunyai banyak suku bangsa. Kita juga kerapkali diminta untuk menghapalkan semua nama pulau, suku bangsa, kesenian daerah, bahkan pakaian adat suku-suku tersebut. Dari sini bisa kita simpulkan kalau rakyat kita sudah mengerti fakta bahwa Indonesia adalah negara yang majemuk / plural.
Tahap menerima pun tampaknya telah berhasil dilewati oleh bangsa ini. Hal ini bisa dilihat dari banyaknya restoran-restoran yang mewakili berbagai daerah di Indonesia, yang laris manis dipenuhi oleh orang-orang dari berbagai daerah pula. Mulai dari restoran masakan Padang sampaiChinese Food memenuhi jalan negeri tercinta kita ini. Ini adalah bukti kalau masyarakat Indonesia telah mengerti dan menerima kemajemukan Indonesia.
Akan tetapi, mengapakah Indonesia yang telah berhasil melewati kedua tahap menuju multikulturalisme tersebut mengalami hambatan dalam mencapai tahap ketiga? Mengapakah masih terjadi pertikaian-pertikaian atas dasar suku, agama, kelas sosial, dsb.? jika kita perhatikan secara lebih dekat, kedua tahap yang ‘konon’ telah berhasil dilewati masyarakat Indonesia tersebut tidak mewakili konsep multikulturalisme yang sesungguhnya. Hal-hal yang dianggap sebagai representasi dari multikulturalisme, seperti makanan, pakaian adat, dsb. Hanyalah sebuah totemisme belaka.
Yang dimaksud dengan totemisme di atas adalah sebuah kecenderungan untuk menggunakan ciri khas atau simbol sebuah daerah untuk mewakili seluruh daerah tersebut. Contohnya jika seseorang menyukai masakan Padang maka dianggap bahwa orang tersebut, secara otomatis, juga menyukai, memahami budaya Padang. Walaupun pada kenyataannya belum tentu seperti itu. Totemisme dilakukan untuk menciptakan sebuah gambaran yang indah, tentram, rukun dan damai di permukaan (negara kesatuan), tanpa mementingkan apakah hal itu berar-benar terjadi di masyarakat atau tidak.
Contoh lain dari bentuk totemisme budaya di Indonesia adalah Taman Mini Indonesia Indah. Di taman ini disediakan tempat-tempat yang memapangkan ciri-ciri khas dari daerah-daerah di Indonesia, seperti Sumatera Barat dengan rumah gadangnya, Papua dengan kotekanya, Bali dengan pakaian adatnya, dsb. Akan tetapi dapatkah kita menyebut TMII ini sebagai cerminan multikulturalisme Indonesia, jika pada saat yang sama suku Dayak bertikai dengan suku Madura, sesama suku Ambon bertikai karena berbeda agama dan pertikaian lainnya? Apakah Indonesia benar-benar indah seperti yang digambarkan di TMII?
Namun, apakah cara ‘totemisme’ ini efektif?
Untuk menjawab pertanyaan diatas kita dapat membaca artikel yang bertajuk “Strategi Kebudayaan dan Sistem Pendidikan Nasional Mural Esten” oleh Prof. Dr. Mursal Esten. Menurut beliau, paradigma dan konsep tentang kebudayaan nasional itu telah meminggirkan potensi sektor budaya yang ada (hukum, pemerintahan, pendidikan, ekonomi, lingkungan, bahasa, kesenian, moral, dan lain-lain) dari berbagai etnis di Nusantara. Paradigma negara kesatuan menimbulkan konsekuensi agar Indonesia juga harus memiliki satu kebudayaan, yakni kebudayaan nasional. Paradigma itu mengingkari kenyataan adanya pluralisme budaya, sehingga pluralisme budaya dilihat sebagai suatu yang berbahaya.
Kenyataannya, sudah sejak lama kita hidup dalam perbedaan. Akan tetapi, pada masa Orde Baru, kita praktis dilarang untuk secara serius untuk membicarakan perbedaan. Artinya, kalau ada masalah, selalu diredam dan ditutupi. Seolah-olah ada kehidupan bersama yang kelihatannya tenang, stabil, rukun, tapi sebenarnya semu. Serba dijaga, datar, dan semua dilarang bicara, kecuali ada syarat. Hasilnya? Kita kehilangan kesempatan untuk belajar bagaimana berbicara, dan menghadapi konfllik dengan cara-cara yang positif. Walaupun sebenarnya ada banyak cara yang bisa digunakan masyarakat untuk memecahkan masalah itu. Ada nilai-nilai tradisional dan kreatifitas masyarakat untuk mencari titik-titik temu yang bisa menjadi jalan, walaupun kita berbeda-beda dalam bentuk ekonomi, budaya, bahasa, agama, dan lain-lain.
Setelah meneliti posisi Indonesia dalam ke-empat tahap menuju multikulturalisme tersebut, kita dapat menyimpulkan bahwa konsep multikulturalisme belum disosialisasikan secara luas di Indonesia. Kenyataannya, multikulturalisme sebagai sebuah wacana masih merupakan hal yang cukup baru di Indonesia. Dengan kata lain Indonesia masih berusaha mencari tahu bentuk multikulturalisme mana yang sesuai dengan kondisi sekarang ini. Berikut, akan dibahas hambatan-hambatan apa yang menghalangi multikulturalisme berkembang di Indonesia.
Hambatan-hambatan
Untuk memiliki Indonesia yang ‘multikultur’ itu tidaklah semudah membalikan telapak tangan. Hal ini dikarenakan oleh proses sosialisasi yang terjadi di Indonesia sudah berlangsung sangat lama dan hasil dari proses tersebut, baik atau buruk, telah tertanam dalam benak masyarakat. Inilah yang menimbulkan adanya stereotip-stereotip atas suatu etnis, agama, kelas sosial, jenis kelamin tertentu. Dan tentu saja, manusia mempunyai kecenderungan untuk menggangap dirinya lebih baik dan yang lain sebagai yang lebih buruk atau rendah. Hal inilah yang kerap kali memicu timbulnya pertikaian di Indonesia.
Stereotip sendiri bisa dibagi menjadi dua jenis; stereotip yang membangun gambaran positif dan yang membangun gambaran negatif mengenai suatu kelompok tertentu. Seringkali, jenis yang kedualah yang ditonjolkan. Misalnya suku tertentu pelit, agama tertentu pemalas, jenis kelamin tertentu lemah dan kelas sosial tertentu itu sombong. Padahal, ada kemungkinan besar kalau stereotip ini dipicu oleh satu pihak yang bermasalah dengan anggota kelompok sosial tertentu. Tetapi tentu saja kita tidak dapat menyamaratakan semua orang.
Contohnya, dalam cerita “Clara”[3][3] oleh Seno Gumira Ajidarma kita bisa menemukan banyak stereotip mengenai etnis Tionghoa yang akhirnya memicu pertikaian beberapa waktu lalu. Stereotip itu antara lain; mata sipit=Cina, Cina=tidak punya agama, Cina=koruptor, dll. Terlebih lagi, bukan hanya etnis Tionghoa saja yang mempunyai stereotip tertentu di mata masyarakat. Pada kenyatannya hampir seluruh suku atau etnis di seluruh Indonesia mendapatkan predikat tertentu. Misalnya; suku Padang dikenal sebagai orang yang pelit, suku Batak dengan keberingasannya, suku Jawa sebagai orang yang lambat, dsb. Semua stereotip itu tertanam di benak masyarakat hingga akhirnya masyarakat tidak dapat melihat secara jelas karena begitu banyaknya bias-bias yang menyelimuti mereka. Stereotip ini bahkan tidak hanya sampai pada tingkat pertimbangan pribadi saja karena ini bisa masuk pada masalah ekonomi, politik, bisnis dsb.
Hambatan yang kedua tidak datang dari luar, tapi dari dalam diri kita sendiri, yaitu fanatisme masyarakat sendiri[4][4]. Kekerasan terjadi dalam kelompok masyarakat sendiri. Contohnya, kita tidak senang terhadap sesuatu, langsung kita bakar, langsung merusak, dan itu menjadi suatu hal yang wajar di masyarakat sekarang ini. Walaupun sebenarnya kita bisa menyelesaikannya tanpa kekerasan. Kita harus menanamkan pengertian bahwa hal demikian tidak boleh terjadi, karena masyarakat kita mempunyai hukum dan peraturan. Pemerintah juga harus kita tekan agar menjalankan dan menegakkan hukum secara adil bagi seluruh rakyat Indonesia.
Contoh lain, misalnya si A dalam menjalankan ibadahnya itu harus yang seperti ini. Jika tidak, kita anggap kafir karena tidak sesuai dengan yang seharusnya. Padahal orang bisa berbeda-beda. Orang Indonesia berbeda-beda. Orang Jawa pun berbeda-beda. Orang satu agama, budaya, bahasa, juga punya interpretasi yang berbeda. Kita bisa sangat tidak setuju dengan orang lain. Tanpa harus mengatakan bahwa orang itu tidak berhak untuk hidup. Itu kan masih harus diperjuangkan. Dan perjuangannya mungkin di situ. Bagaimana kita memperjuangkan suatu konsep hidup bersama dalam perbedaan yang rileks, dan bisa saling menghargai tanpa melukai secara rileks pula. Fanatisme masyarakat inlah yang masih menjadi hambatan multikulturalisme yang cukup besar di Indonesia.
Hambatan lain yang ada di Indonesia adalah kurangnya promosi mengenai multikulturalisme. Multikulturalisme sendiri sudah muncul di Indonesia sebagai wacana selama beberapa saat, namun hanya kalangan tertentu saja yang membicarakannya. Hal ini mungkin saja terjadi karena multikulturalisme masih merupakan konsep yang cukup baru di Indonesia dan kalangan-kalangan ini masih mencari tahu cara yang terbaik untuk memperkenalkan konsep ini kepada masyarakat Indonesia.
Semua hambatan-hambatan yang terjadi di Indonesia inilah yang menghalangi multikulturalisme untuk berkembang dan diaplikasikan. Jika stereotip ditambah dengan fanatisme bercampur maka ini akan menjadi sebuah bom waktu yang dapat meledak sewaktu-waktu. Jika ada suatu masalah kecil timbul antar- suku atau kelompok agama, maka bukanlah tidak mungkin akan terjadi pertikaian yang berkepanjangan dan mengganggu stabilitas nasional. Kurangnya promosi mengenai multikulturalisme juga makin menghambat tumbuhnya pemahaman multikulturalisme di Indonesia. Oleh karena itu, berikut ini akan kita bahas 3 cara untuk mensosialisasikan konsep multikulturalisme di Indonesia.
3 Cara untuk Mensosialisasikan Konsep Multikulturalisme
Setelah membahas hambatan-hambatan yang masih ada di Indonesia, tibalah kita pada cara-cara untuk menghadapi hambatan tersebut dan mensosialisasikan konsep multikulturalisme di Indonesia. Dalam makalah ini, akan dibahas 3 cara, yaitu; melalui pendidikan, kebijakan pemerintah dan melalui media (televisi, surat kabar, sastra).
Cara pertama yang dapat dilakukan untuk mensosialisasikan konsep multikulturalisme di Indonesia adalah melalui pendidikan. Pendidikan adalah bagian dari kebudayaan dan kebudayaan adalah sistem nilai yang kita hayati. Kegiatan pendidikan adalah kegiatan budaya.[5][5] Melalui pendidikan yang sudah diperbaharui ini masyarakat dibantu untuk tidak hanya menjadi sekedar pendukung budaya tetapi lebih-lebih berperan sebagai pengembang budaya. Akan tetapi, dalam membangun sistem pendidikan kita jangan pernah mengabaikan kondisi riil yang dihadapi: masyarakat kompleks, hidup yang finite dan kehidupan di mana yang pasti adalah perubahan dan ketidakpastian. Inilah yang seharusnya dijadikan pedoman dalam menentukan kurikulum pendidikan di Indonesia.
Dalam hubungannya dengan multikulturalisme, pendidikan merupakan wahana sentral dalam menterjemahkan gagasan multikulturalisme menjadi kenyataan perilaku yang semakin menguat dalam masyarakat, terutama pada generasi muda. Pendekatan multikulturalisme harus disosialisasikan dan dikelola secara konsisten dalam dan melalui pendidikan nasional. Pengelolaan sistem pendidikan ini dapat dilakukan melalui sebuah revisi kurikulum yang mengacu pada upaya mengapresiasi perbedaan yang ada dan mengembangkan sikap kesederajatan dan toleransi.
Lebih jauh lagi, Melani Budianta, dalam artikelnya yang bertajuk ”Multikulturalisme dan Pendidikan Multikultural”, berpendapat bahwamelalui pendidikan multikultural siswa dapat diajak untuk melihat contoh-contoh kongkrit bahwa:
· Kebudayaan tidak bersifat statis melainkan merupakan suatu proses yang terus terjadi.
· Kebudayaan merupakan suatu wilayah yang batasnya terbuka terhadap berbagai pengaruh, interaksi, percampuran dan peleburan.
Dari sinilah akan tumbuh suatu pengertian konsep multikulturalisme dan pemahaman bahwa Indonesia merupakan negara yang plural.
Jika kita membicarakan pendidikan, maka secara otomatis kita akan membahas peran guru yang sangat penting. Sangat penting karena semua kurikulum, peraturan dan buku yang dimiliki tidak akan berguna tanpa adanya guru untuk mengaplikasikannya kepada siswa. Seperti yang telah dibahas pada bagian sebelumnya, multikulturalisme sebagai wacana masihlah sangat baru di Indonesia. Oleh karena itu, sangatlah penting diadakan suatu penataran atau semacam seminar multikulturalisme bagi para guru atau pengajar. Dalam penataran ini budayawan, pemerintah serta para guru dapat berdiskusi untuk mencari bentuk multikulturalisme seperti apakah yang sesuai dengan kondisi masyarakat Indonesia yang seperti ini, apakah yang perlu diubah dari kurikulum pendidikan yang sudah ada dan bagaimanakah metode yang tepat untuk menyampaikan multikulturalisme itu sendiri.
Cara kedua yang bisa diterapkan untuk mensosialisasikan konsep multikulturalisme di Indonesia adalah melalui intervensi dari pemerintah sendiri. Cara ini diharapkan sebagai suatu cara yang cukup efektif karena pemerintah mempunyai peran yang esensial sebagai sebuah suara yang didengar oleh rakyat. Kita bisa melihat ini dari negara Amerika Serikat dan Australia dimana intervensi dari pemerintah dinilai cukup gencar dalam mempromosikan multikulturalisme.[6][6] Di Kanada, sebagai contohnya, pemerintah Kanada dihadapkan pada kenyataan adanya dua budaya yang dominan, yaitu budaya Inggris dan Perancis. Sebagai solusi, pemerintah Kanada membentuk Department Multikulturalisme dan Kewarganegaraan dan membuat undang-undang Multikultural. Pemerintah Australia juga membentuk Kantor Urusan Multikultural dan mencanangkan agenda khusus tentang multikulturalisme.
Dari kedua contoh di atas dapat disimpulkan bahwa pemerintah mempunyai peran yang sangat vital dalam mensosialisasikan multikulturalisme di negaranya. Sudah sampai sejauh manakah pemerintah Indonesia menanggapi masalah ini? Menurut Daoed Joesoef dalam artikelnya yang bertajuk “Pembaharuan Pendidikan dan Pemikiran”, pemerintah Indonesia telah membuat sebuah kesalahan yang fatal saat memisahkan tanggung jawab kebudayaan dari tanggung jawab pendidikan. Pembinaan kebudayaan diserahkan kepada jajaran kepariwisataan dengan pertimbangan efisiensi. Hal ini menyebabkan rusaknya citra kebudayaan karena budaya hanya dianggap sekedar tontonan artistik untuk menarik para turis/wisatawan/pemilik dollar.
Rancangan Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional yang juga sempat menimbulkan kontroversi baru-baru ini, terutama butir yang mengatur pelaksanaan pengajaran agama di sekolah-sekolah formal, dapat dilihat sebagai bentuk intervensi pemerintah dalam pendidikan multikulturalisme di Indonesia. Dalam RUU ini dinyatakan kewajiban untuk mengajarkan agama sesuai yang dianut siswa, hal ini dapat menyatakan/menyiratkan 2 hal. Di satu sisi hal ini bisa dilihat sebagai undang-undang yang sesuai dengan hak dasar setiap warga negara, yaitu untuk mendapatkan pengajaran yang dalam hal ini adalah agama. Akan tetapi di lain pihak jika kewajiban itu dikenakan pada sekolah-sekolah yang memiliki identitas keagamaan tertentu, maka kebijakan ini mengekang hak dari suatu kelompok budaya untuk merealisasikan misi atau tujuannya.[7][7] Pada saat yang sama rancangan tersebut juga dapat berdampak mengintervensi suatu proses pembelajaran lintas agama yang secara tak dipaksakan telah terjadi melalui institusi sekolah-sekolah berbasis agama tersebut. Bentuk intervensi pemerintah seperti ini dapat dilihat sebagai sesuatu hal yang mendukung atau menghambat pendidikan multikulturalisme di Indonesia. Hal ini juga membuat banyak pihak bertanya-tanya sebenarnya apakah garis yang membatasi intervensi pemerintah dalam mensosialisasikan multikulturalisme di Indonesia?
Yang dibutuhkan oleh Indonesia dalam rangka mempromosikan konsep multikulturalisme adalah menciptakan struktur negara mulai dari dasarnya berdasarkan kesadaran multikulturalisme. Artinya, ada kebersamaan dalam tata negara. Kuatnya perangkat hukum yang tidak terpengaruh oleh kekhawatiran mayoritas dan kepentingan-kepentingan lain. Betul-betul tanpa pandang bulu. Misalnya, terjadi kekerasan karena agama, (atau) kekerasan yang melanggar hukum. Siapapun dan atas nama agama apapun harus bisa ditindak oleh hukum secara adil. Hal ini mutlak dilakukan oleh negara. Negara juga harus memberikan suatu jaminan keamanan bagi warganya dari latar belakang apapun. Perangkat keamanan yang ada difungsikan untuk melindungi setiap warga negara Republik Indonesia.
Selain itu pemerintah Indonesia juga bisa meniru langkah-langkah yang telah berhasil dilakukan oleh negara-negara yang telah disebutkan di atas, seperti membentuk sebuah Departemen Multikulturalisme untuk mengurusi masalah-masalah yang berada dalam ruang linkup multikulturalisme. Hal-hal ini seperti; pendidikan multikulturalisme, promosi multikulturalisme, pengembangan budaya daerah, dll. Akan tetapi, peran pemerintah hanyalah sebatas mempromosikan multikulturalisme itu dan menerapkannya dalam tatanan pemerintahan.
Cara ketiga yang dapat dilakukan adalah melalui media. Sama halnya dengan pemerintah, media juga mempunyai fungsi yang sangat vital dalam mempromosikan konsep multikulturalisme di Indonesia. Adapun yang dapat dikategorikan sebagai media di sini adalah; televisi, radio, surat kabar, majalah, sastra (puisi, novel, drama) dan kesenian (seni lukis, seni suara, musik).
Seperti yang kita ketahui, fungsi media pada zaman modern seperti ini bukan hanya sekedar sebagai alat penghibur tetapi juga sebagai sebuah sarana untuk menyampaikan pesan tentang kebenaran, tentang apa yang baik dan buruk. Media juga bisa menjadi sebuah potret atau sketsa kehidupan yang terjadi di dalam masyarakat. Sesuai dengan fungsinya sebagai penyampai pesan, maka sudah sewajarnyalah jika media digunakan sebagai alat untuk mempromosikan multikulturalisme di Indonesia.
Sekarang ini media di Indonesia sudah berkembang dengan sangat pesat. Hal ini didukung oleh kemajuan teknologi yang sudah sangat canggih. Hal ini membuat media mempunyai akses yang sangat luas dan cepat di seluruh Indonesia. Inilah yang merupakan nilai tambah dari media. Akan tetapi, bila kita mencermati media yang ada masih sangat sedikit unsur multikulturalisme yang ditonjolkan.
Contohnya dalam sebuah program yang bertajuk Pustaka Anak Seribu Pulau. Dalam seri ini hanya ditunjukkan kehidupan salah satu suku saja, bukannya persentuhan antar-suku. Episode Penari Japin misalnya, malah memberi kesan betapa eksklusifnya komunitas Arab di Palembang. Sejajar dengan Singa Si Alun yang bercerita tentang Alun, seorang anak laki-laki keturunan Tionghoa, yang belajar menari Barongsai –jadi terbatas pada komunitas sekitar yang terdiri dari keturunan Tionghoa belaka. Hal ini menunjukan bahwa multikulturalisme masih belum digali secara mendalam di Indonesia.
Yang dapat dilakukan oleh media adalah menunjukan bagaimana masyarakat harus menghadapi perbedaan yang ada di Indonesia, melawan stereotip suku atau etnis tertentu dan memperkenalkan budaya-budaya yang ada di Indonesia. Hal ini dapat dilihat dalam bidang sastra. Para sastrawan kita bisa melawan stereotip–stereotip yang ada di masyarakat melalui karya mereka dan bahkan menciptakan sebuah stereotip yang baru. Menurut Agus R. Sarjono dalam artikelnya yang bertajuk “Kebudayaan Daerah dalam Khazanah Sastra Indonesia”, sastra itu tidak punya komitmen pada daerah atau pusat. Komitmen sastra ada pada manusia, yakni melawan segala upaya untuk mengabsolutkan dan memfinalkan definisi tentang manusia atau yang biasa disebut dengan stereotip. Menurutnya, sastrawan daerah harus terus berkarya sampai timbul suatu keberagaman budaya sehingga ruang untuk berdialog dan mempertanyakan segala sesuatu menjadi mungkin. Jika hal ini sudah terjadi maka bisa terciptalah sebuah masyarakat yang multikultural.
Salah satu novel yang saya pribadi anggap sebagai novel yang mempromosikan konsep multikulturalisme adalah “Percikan Revolusi” oleh Pramoedya Ananta Toer. Di cerita Ini, Pram menceritakan kehidupan seseorang di bui. Seperti yang kita tahu, di Bui semua orang mempunyai satu benang merah yaitu mereka melakukan sesuatu sehingga mereka dimasukan ke penjara. Benang merah ini merupakan suatu tindakan dan bukan suatu status, seperti suku, agama, ras, dsb. Oleh karena itu sangatlah menarik untuk melihat kehidupan di penjara dengan kemajemukannya.
“Di sini terdapat bermacam-macam bangsa: totok Belanda, Tionhoa dan Indonesia, ditambah pula dengan bangsa separoh, Indo Belanda dan Indo Tionghoa. Tapi suasana sel tak kenal kebangsaan, agama dan politik. Yang ada hanya manusia yang menanggung duka dan suka. Memang – kebangsaan, agama dan politiklah yang telah memecah belahnya umat manusia dalam beribu bentuk permusuhan: yang tak berguna sama sekali! ... antara manusia dengan manusia hanya harus ada kemanusiaan –lain tidak!”
Lewat sepenggal kalimatnya yang ‘keras’ ini, pembaca seakan dibangunkan untuk melihat dibalik jubah ras, suku, agama atau kelas sosial seseorang. Manusia adalah manusia dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Oleh karena itu, bukalah pikiran kita dan terima perbedaannya. Kalimat ini juga menyiratkan suatu kritik yang pedas terhadap suatu sistim di masyarakat yang secara tidak sadar memecah belah masyarakatnya sendiri.
Kedua contoh di atas, film dan sastra, hanyalah sebagian kecil dari peran media di masyarakat. Namun, dari situ kita bisa melihat bagaimana potensi dari media untuk mensosialisasikan multikulturalisme. Melalui media, diharapkan agar dapat tercipta suatu masyarakat Indonesia yang memiliki pola pikir multikulturalisme. Konsep multikulturalisme itu akan membantu masyarakat Indonesia untuk lebih kritis dalam memaknai perbedaan, tidak kaku, tidak canggung, lebih terbuka, dan menciptakan manusia Indonesia yang tidak fanatik, tapi mampu berkomunikasi lintas batas. Jika hal ini dapat diwujudkan, maka Indonesia dapat memaksimalkan potensinya untuk mengembangkan dan mengangkat budaya-budaya dari setiap daerah ke permukaan. Bukan hanya sebagai simbol belaka untuk menunjukan bahwa Indonesia merupakan negara dengan ragam budaya, namun untuk memperkaya wacana pemikiran masyarakat Indonesia.
Ketiga cara yang telah dijabarkan di atas, yaitu; pendidikan nasional, kebijakan pemerintah dan peran media, masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangannya sendiri. Akan tetapi tidak adapat disangkal kalau ketiga cara ini mempunyai pengaruh yang sangat besar di masyarakat Indonesia. Oleh karena itulah ada baiknya jika multikulturalisme itu dapat ditinjau kembali dan didiskusikan agar dapat ditemukan suatu konsep yang cocok dengan kepribadian bangsa Indonesia yang kemudian dapat disosialisasikan melalui cara-cara tersebut di atas.
Daftar Pustaka
[4][4] Ancaman tidak datang dari luar, tapi datang dari diri sendiri. 6 Mei 2003.http://www.incis.or.id/
[5][5] Joesoef, Daoed. “Pembaharuan Pendidikan dan Pikiran” Masyarakat Warga dan Pergulatan Demokrasi. Jakarta: Penerbit Kompas, 2001.
[7][7] Budianta, Melani. Multikulturalisme dan Pendidikan Multikultural: Sebuah Gambaran Umum, 2003.
Categories:
Colegge